“Kenapa tas ini bisa disini?”
Ginarah menarik tas kerja Galuh yang terselip di belakang lemari gudang. Dibukanya tas itu kemudian satu persatu dia keluarkan isinya. Tiba-tiba tangan Ginarah menyentuh sebongkah kertas yang sudah remuk teremat.
“Apa ini?”
Kertas itu dibukanya, lalu dirapikan dan diarahkannya di bawah cahaya yang menerobos masuk dari jendela.
Ginarah bergegas ke kamar dan menyodorkan kertas yang baru saja dibacanya. “Benarkah semua ini Mas?!”
Galuh terhenyak dengan kepala tertunduk. Dia tak kuasa menatap mata istrinya. “Iya Rah.. Kata dokter, waktuku tinggal beberapa bulan lagi..”
“Darimana kamu dapatkan penyakit kotor itu Mas?!”
Galuh terdiam.
“Maafkan aku Rah..” Suara Galuh bergetar. “Beberapa tahun lalu, aku pernah berhubungan dengan wanita lain..”
“Segampang itu kamu bilang maaf!”
“Aku khilaf Rah..”
Dengan linangan air mata, Ginarah mengguncang-guncang tubuh Galuh yang sudah sangat lemah. “Sejak kapan?! Sejak kapan kamu mengetahui penyakit ini?!”
“Aku baru tau sebulan yang lalu sejak penyakitku semakin parah..”
Ginarah terduduk lemas. “Kamu telah menghancurkanku dan masa depan kita..”
“Ampuni aku Rah..”
“Percuma meminta ampun padaku Mas..”
Galuh menegakkan punggungnya dan pelan-pelan menurunkan kakinya dari ranjang, tubuhnya langsung terhenyak ke lantai dan bersimpuh dihadapan Ginarah. “Jangan pergi Rah, aku mohon dengan sangat! Jangan pergi!” Tangis Galuh pecah.
Ginarah menangis tergugu sambil mengusap perutnya yang telah berusia sembilan bulan.
“Entahlah..”
***
Kerinduan Ginarah semakin membuncah saat memandang foto terakhir suaminya. Meski dia sudah merawat Galuh dengan kemampuan terbaiknya, tapi dia sadar cepat atau lambat virus itu akan mengambil nyawa suaminya.
Di dalam rumah kontrakannya, Ginarah mencoba bertahan menghadapi penyakit yang telah ditularkan suaminya, sendirian. Tubuhnya semakin kurus dengan demam yang tak kunjung reda, dan entah berapa kali Ginarah harus bolak balik ke kamar mandi.
“Ini Ibu nak, Ibu disini.. Kamu lapar nak?” Ginarah mendekap bayi berusia 6 bulan yang sedari tadi menangis karena tak kunjung mendapatkan pelukan hangat dari ibunya.
Disuapkannya bersendok-sendok cairan bening itu ke mulut anaknya. Hingga bayinya pelan-pelan berhenti menangis dan matanya mulai terpejam.
Dipandanginya dengan lembut hasil buah cintanya dengan Galuh. Airmatanya mengalir deras.
Sedetik kemudian, ditenggaknya sisa cairan bening yang berasal dari kaleng bergambar serangga itu sampai habis.
A tribute to Freddie Mercury
JAHAT KALI IBUMU NAK!!! 😀
😀
huhuhuhuhu ginarah, jangan dunk, setiap ada kesulitan pasti ada jalannya llho 🙂
Bukan saya itu Mbak Na wkwkwkwk..
Mungkin Ginarah ngerasa nggak bakal sembuh, dan anaknya juga ketularan virus itu. Jadi klo dia is death dia ngerasa nggak ada yg bisa ngurus anaknya. IMO 😀
#Entahkenapa aku nggak suka kalau endingnya mati. Serasa di-php. Haha.
Salam
😀
Salam kenal mas, mksh dah mampir ^_^
saya malah suka kalau yang mati2 karena semua akan mati hehe
Iya mak :D,
cuma waktunya aja yg beda, ada yang cepet dan ada yg masih lama 😀
Entah kenapa buat saya, bunuh diri adalah jalan pintas manusia untuk menghadapi masalah. Dan jalan pintas penulis untuk mengkhiri tulisannya 😀
hihihi.. maklum mbak dah mentok. Bingung gimana cara bikin ceritanya ngetwist 😀
aih…trageeeees endingnya 😦
😀
Hadeuhh.. Kok jadi bunuh diri? Sediiihhhh… 😥
yah, begitulah mak… 😀
AKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKK!!!
aku nyesel baca FF ini 😥 😥 😥 😥 😥 😥 😥 😥 😥 😥 😥
😀
‘siapa hidup, di peluk ibu. siapa mati, di genggam ibu. siapa, siapa yang kira, ke mana jiwa bergerak? siapa?’
🙂 kata-katanya bagus mbak
aiiiz berdiri bulu kudukku baca endingnya..
terlalu sadis…
Sebenernya saya juga nggak tega nulisnya, tapi yah.. kenyataannya memang ada yg seperti itu 😀
nggak tega aku baca ini
bayangin anak sendiri 😦 😦
Iya sama sih mbak, saya ampe kepikiran sebenere.. 😀
tapi apa boleh buat, namanya juga fiksi 😀